Usai sudah perjuangan Liliyana Natsir untuk mengharumkan nama Indonesia di pentas bulutangkis dunia. Rasa sedih itu pasti saya rasakan sebagai penggemar yang sudah mengidolakannya sejak lama, bahkan ia sudah menjadi role model of life buat saya. Namun rasa bangga saya jauh lebih besar ketimbang rasa sedih. Bangga karena Liliyana mengundurkan diri dengan kepala tegak, dengan perjuangan, dengan penuh kebanggaan. Satu quotenya hari ini yang akan selalu saya ingat untuk sepanjang hidup saya, ‘Kekalahan bukanlah hal yang memalukan. Yang paling memalukan adalah menyerah’.
Kekalahan dan menyerah, 2 hal yang terlihat hampir sama namun sebenarnya sungguh jauh berbeda. Sebuah kekalahan adalah hal yang tak bisa lepas dari yang namanya peran Tuhan. namun rasa menyerah adalah hal yang selalu ada dalam diri manusia. Kekalahan sejatinya bukanlah sebuah pilihan karena ia akan selalu ada di depan mata dimanapun kita berada. Namun kekalahan itu akan binasa ketika rasa menyerah selalu dilawan di dalam dada. Ketakutan bukan solusi terbaik menghadapi kekalahan. Ketika kamu memilikinya maka ketakutan akan kekalahan bisa merajalela dan sebuah kemenangan akan semakin sirna. Namun keberanian (pantang menyerah) lah yang bisa membuat kemenangan tergenggam di tangan.
Saya sungguh kagum dengan idola saya ini, di episode terakhirnya sebagai pemain bulutangkis professional, ia masih sanggup menginspirasi dengan quotenya yang luar biasa. Saya ingin quotenya berharga ini tidak hanya diingat dan diterapkan oleh saya saja ataupun fans-fans Liliyana di luar sana, tetapi juga untuk para juniornya, adik-adik kita di pelatnas. ''Jangan Pernah Menyerah, Jangan Takut Kalah''. Itu yang ingin diwariskan Liliyana lewat quote terakhirnya sebagai pemain untuk adik-adiknya.
Usai Liliyana pensiun, secara jujur saya katakan bahwa saya akan menurunkan harapan saya sebanyak mungkin pada sektor Ganda Campuran (XD) ini. Tidak ada maksud apa-apa, hanya saja saya tidak ingin terlalu kecewa nantinya. Melihat komposisi pemain-pemain XD kita memang tidak ada yang kurang secara bakat. Hanya saja melihat bagaimana penampilan Zheng Siwei/ Huang Yaqiong hingga hari ini dan jika mereka bisa mempertahankan performanya selama mungkin, maka mungkin saja XD kita akan jadi penggembira di tengah riuhnya pesta.
Yang membuat Liliyana dan juga Hendra Setiawan di sektor Ganda Putra (MD) begitu melegenda bagi bulutangkis dunia adalah kemampuan mereka dalam ''membaca''. Meskipun hari ini mereka mengalami kekalahan dari junior mereka bukan berarti mereka kalah secara kemampuan, mereka hanya kalah dalam hal kecepatan yang tidak lain tidak bukan merupakan imbas dari bertambahnya usia. Saya mungkin tidak begitu paham tentang teknis bulutangkis di atas lapangan, tetapi yang saya lihat adalah pemain-pemain kita masih kurang dalam membaca. Pernyataan saya ini bukan dimaksudkan untuk mengecilkan talenta-talenta yang mungkin menurut teman-teman disini sangat berbakat, namun ini hanya sekedar tulisan untuk pelecut semangat bahwa selalu masih ada hal-hal yang harus kita perbaiki meski sudah berada pada level tertinggi.
Berbicara tentang kemampuan membaca ini diibaratkan seperti pengidap disleksia yang disuruh menulis dan merangkai huruf dengan benar agar bisa menjadi sebuah kalimat. Seorang disleksia butuh waktu dan usaha yang ekstra keras untuk melatih dirinya, terutama dalam hal ini adalah otaknya, agar bisa mengontrol imajinasinya supaya huruf-huruf tidak menari-menari kemana-kemana dan bisa tersusun dengan benar. Begitu juga dengan adik-adik kita di pelatnas. Kesuksesan sebagai pemain tidak melulu hanya soal fisik dan teknik, tapi juga soal otak (mindset). Akan percuma jika berlatih fisik dan teknik setiap hari kalau mindset di atas lapangan masih lemah, masih membiarkan kekalahan dan rasa menyerah menari-menari di dalam kepala dan dada.
Seringkali ketika Liliyana dan Hendra bermain, Oma Gill, Om Steen atau Opa Morten mengagumi bagaimana mereka membaca permainan. 'In the right place at the right time' begitulah kira-kira kalimat yang selalu mereka ucapkan mengenai kedua legenda ini. Bahkan mereka menambahkan bahwa mereka bukan hanya sekedar membaca kemana bola datang tapi membaca juga jenis pukulan yang dilakukan maupun posisi lawan.
Kita bisa lihat hari ini bagaimana Hendra yan masih mengeluarkan ilmu sulap nan luar biasa di depan net kepada lawannya dan bagaimana Liliyana tidak pernah menunjukkan rasa menyerah kepada seluruh penontonnya. Meski ia tahu kini kekurangannya sudah sering terlihat seiring berjalannya usia, namun ia tidak pernah setengah-setengah mengerahkan seluruh kemampuannya bahkan hingga pertandingan terakhirnya. Gaya colak-colek di depan net, seperti istilah yang sering teman-teman sebutkan disini, bukan hanya sekedar permainan tangan (raket) saja. Ada sebuah visi disana. Visi yang dibangun di dalam pikirannya yang selalu ''tidak ingin menyerah'' mencari peluang, membuat pancingan dan menghasilkan poin untuk mencari sebuah kemenangan. Visi ini yang menurut saya belum begitu menonjol dari adik-adiknya di pelatnas.
Saya tidak mau berbicara terlalu jauh hingga olimpiade nanti. Yang saya inginkan hanya progres yang lebih baik untuk ke depannya bagi adik-adik kita. Begitu banyak yang bisa dipelajari dari pertandingan yang berlangsung hari ini. Belajarlah dari Anders Antonsen tentang kemandiriannya mengelola segalanya, termasuk pikirannya, yang bahkan tidak tampak gentar menghadapi pemain sekelas Kento Momota yang selama ini begitu digdaya. Belajarlah dari Kevin Sanjaya Sukamuljo/ Marcus Fernaldi Gideon yang tak pernah menurunkan determinasi dan semangatnya di setiap pertandingan, bahkan sebuah kekalahan saja sudah dianggap seperti kiamat buat mereka. Dan belajarlah dari Siwei/Yaqiong yang tidak takut melawan siapapun bahkan jika itu seorang Liliyana yang begitu melegenda.
Terima kasih Liliyana sudah mengabdi pada Negara. Terima kasih Liliyana sudah mengharumkan bangsa ini di pentas dunia. Terima kasih Liliyana sudah menginspirasi saya dan juga para penggemarmu di luar sana. We will miss you. Always love you, my legend. (Lily Dian)