Berita > Artikel > Wawancara

Evaluasi Herry IP Usai Malaysia dan Singapura

Kamis, 18 April 2019 16:33:57
2715 klik
Oleh : admin
Kirim ke teman   Versi Cetak



Tak satu gelar pun berhasil disabet skuat ganda putra Indonesia pada dua turnamen terakhir, Malaysia Open Super 750 dan Singapore Open Super 500. Capaian tertinggi diraih pasangan Hendra Setiawan/ Mohammad Ahsan dengan menjadi finalis di Singapura. Hendra/Ahsan gagal mengulang sukses tahun sebelumnya untuk naik ke podium juara. Di partai final Hendra/Ahsan dikalahkan ganda Jepang, Takeshi Kamura/Keigo Sonoda.

Sebelumnya pada babak semifinal, Kamura/Sonoda juga menjadi penjegal langkah Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon. Sepekan sebelumnya di Malaysia Open 2019, Kamura/Sonoda juga menghentikan langkah ganda putra Indonesia, Fajar Alfian/ Muhammad Rian Ardianto di babak semifinal.

Fajar/Rian mencatat kemenangan pertama atas rekan sendiri, Kevin/Marcus, pada babak perempat final Malaysia Open 2019, setelah menderita kekalahan dalam tiga pertemuan sebelumnya. Akan tetapi, Kevin/Marcus kembali menundukkan Fajar/Rian di babak perempat final Singapore Open 2019. Kevin/Marcus kembali harus memendam keinginan untuk kembali naik podium juara saat dikalahkan Kamura/Sonoda pada babak semifinal.

Dua turnamen terakhir di Malaysia dan Singapura ini pun menjadi bahan evaluasi dan analisa Kepala Pelatih Ganda Putra PBSI Herry Iman Pierngadi atas skuat anak didiknya, seperti kami lansir di situs resmi PBSI Badmintonindonesia.org. Selain itu, Herry IP juga menjawab pertanyaan seputar perkembangan pasangan pelapis Wahyu Nayaka Arya Pankaryanira/ Ade Yusuf Santoso, Berry Angriawan/ Hardianto dan Sabar Karyaman Gutama/ Frengky Wijaya Putra. Simak petikan wawancara berikut.

Apa komentar coach Herry soal hasil di turnamen Malaysia dan Singapore Open 2019?

Hasilnya memang kurang bagus, tapi ada satu kemajuan, 'pecah telor' kalau bahasa saya, untuk Fajar/Rian di delapan besar Malaysia Open 2019. Mereka bisa mengalahkan Kevin/Marcus, saya sebagai pelatih senang, karena ada kemajuan buat Fajar/Rian, karena skor pertemuan terakhir 3-0 untuk keunggulan Kevin/Marcus.

Fajar/Rian bisa melewati sosok yang merupakan hambatan buat mereka. Tapi di satu sisi lagi, setelah delapan besar itu, habis-habisan mereka. Waktu di semifinal, melawan Kamura/Sonoda, Fajar/Rian bilang habis. Maksudnya yang habis itu ketahanan fokusnya, konsennya, tahan emosinya, karena saat mengalahkan Minions (julukan Kevin/Marcus) itu mereka belajar dari tiga kekalahan sebelumnya.

Bagaimana dengan Kevin/Marcus?

Memang kalau saya lihat, Kevin/Marcus ada sedikit penurunan. Saya belum ngobrol sama mereka, apa mungkin ada rasa jenuh, sudah tidak ada tantangan, atau seperti apa? Kalau saya berpikirnya positif, menjelang olimpiade, kalau menang-menang terus, sejarah sudah membuktikan, nanti di olimpiade masih tanda tanya. Idealnya sih memang menang-menang dan di olimpiade juga menang. Kevin/Marcus belum dapat gelar juara dunia dan emas olimpiade, jadi target utamanya memang di dua kejuaraan itu.

Kevin/Marcus karena sudah terbiasa menang, sehingga orang sudah terbius sama menang-menang, kalau kalah nggak boleh. Padahal kan mereka sudah fokus, jadi ada pressure harus menang. Kalau menurut saya, kekalahan mereka, ada positifnya juga. Kalau menang terus nanti saya malah khawatir di olimpiade, ya tapi kalau kalah terus juga nggak bagus.

Harus bisa mengatur juaranya di mana. Level mereka cukup tinggi, lawan sudah mempelajari. Di samping itu, Kamura/Sonoda harus kita akui, penampilannya lagi bagus. Jadi prinsipnya, saya tidak khawatir sekali, tapi tetap harus dievaluasi, di mana kekurangannya.

Saya sudah minta tim Litbang meneliti, lose poinnya di mana, banyak kesalahannya di mana. Ini untuk evaluasi ke depan, bukan untuk BAC (Badminton Asia Championships 2019), saya rasa nggak keburu, hari Sabtu sudah berangkat, ke BAC ini lebih fokus ke balikin kondisi fisik saja.

Bagaimana soal capaian Hendra/Ahsan?

Hendra/Ahsan cukup konsisten, stabil, kalau mereka ke semifinal, final, cukup konsisten, tapi tetap harus dievaluasi, kekurangan dan kelebihannya. Karena kalau di peringkat sepuluh besar, sudah saling mengalahkan, terutama di lima besar, saling mengalahkan sepertinya biasa. Saat bertanding, siapa yang paling siap, itu yang memungkinkan memenangkan pertandingan. Dan siapa yang bisa memanfaatkan menang angin-kalah angin. Karena hampir semua lapangan pertandingan di Asia, masalahnya di situ.

Yang harus dihindari itu ketemu di delapan besar terus, kalau rangkingnya naik kan bisa ketemu di semifinal atau di final. Kalau rangkingnya terlalu jauh kan ketemunya di babak delapan besar, di babak awal, yang selama ini terjadi kan begitu, jadi menghindari pertemuan di awal-awal. Kalau pengaturan hasil pertandingan nggak ada kok, mereka fight semua. Prize money nya kan masing-masing, ha ha ha.

Menurut coach Herry, apakah gap antara tiga pasangan ganda putra ini jauh dengan Wahyu/Ade dan Berry/Hardi?

Kalau terlalu jomplang sekali sih enggak ya, tinggal sedikit lagi. Di Malaysia Open (Wahyu/Ade) sudah mau menang, kalah lagi. Tapi kekalahan mereka menurut saya masih bisa diterima, bisa dipertanggungjawabkan. Terutama Wahyu/Ade, waktu melawan Zhang (Nan)/Liu (Cheng), poinnya mepet, seharusnya bisa menang. Cuma karena kurang ketenangan, lawan cukup baik, pasangan juara dunia. Di saat setting, Wahyu/Ade kurang tenang, di game ketiga ini saya rasa ada unsur lucky juga.

Berry/Hardi saya rasa harus diperbaiki fokusnya, banyak bola yang seharusnya tidak mati, malah error sendiri. Kalau bicara level dunia, top 10 atau top 5, matinya harus dibunuh lawan, nggak boleh error sendiri. Kalau masih error harusnya bukan pemain Top 10, musuhnya kalau dapat poin harus membunuh, bukan dapat gratisan misalnya servis nyangkut, smash out, seperti itu. Nah ini yang harus mereka perbaiki, dari latihannya.

Kalau mau mengejar, mereka harus naikkan peringkat dulu, setidaknya 10 besar. Masuk 10 besar nggak sesulit kayak masuk lima besar, kalau masuk lima besar itu lebih berat, harus juara dulu. Dibawah peringkat 15 masih memungkinkan. Capaiannya minimal semifinal, di turnamen kelas super 300, super 500, biar cepat naik. Kalau menghitung peringkat dunia itu tidak bisa dipatok harus sampai semifinal atau final misalnya, terus peringkat naik, kita juga harus lihat juga capaian lawan-lawan yang peringkatnya lebih tinggi, dan tahun lalu hasil yang dicapai apa di turnamen tersebut. Hitung peringkat tidak bisa seperti 2+2 = 4.

Kalau Sabar/Frengky sudah sejauh mana progressnya?

Sabar/Frengky, tahapannya beda, tahun ini baru masuk utama. Mereka harus menghadapi pemain level top 10, misalnya Li (Junhui)/Liu (Yuchen), belum pernah ketemu. Nanti baru dievaluasi, memungkinkan untuk bersaing nggak? Saya dan Aryono (Miranat, Asisten Pelatih Ganda Putra PBSI) harus melihat dulu, mereka bisa melawan nggak? Kalau tanding di level Super 300, kan susah untuk ketemu pemain-pemain top. Sama Fajar/Rian saja belum pernah bertemu di pertandingan, kalau di latihan kan beda.

Bagaimana pengaturan turnamen yang diikuti pemain top level?

Turnamen yang wajib diikuti itu dalam setahun ada 12 turnamen, sisanya kami pilih lagi. Pemain kalau menang-menang terus, nanti lengah. Ya tapi jangan terlalu sering kalahlah, kalau 4-5 kali kalah ya lampu merah dong. Jangan hanya lihat hasil, lihat persiapannya, kalau nggak cukup, nggak bisa nuntut prestasi tinggi.

Misalnya di All England 2019, mereka kalah ya wajar karena persiapannya memang kurang, di samping itu lawannya memang bagus, tapi kalahnya bukan yang enggak-enggak. Intinya itu saja, lihat track recordnya sudah tiga kali kalah, menang-kalah itu biasa, lawan ada cocok-cocokan. Kita lihat di tunggal, Chen Long sama (Anthony Sinisuka) Ginting, persentase menangnya lebih banyak mana? Tapi kalau ketemu, mungkin menang, mungkin juga kalah. Tapi kalau kalah sama yang di bawah-bawah itu yang nggak boleh.

Kevin/Marcus bisa dikalahkan sama teman sendiri, apakah artinya ada penurunan dari permainan mereka?

Kevin/Marcus dikalahkan sama Fajar/Rian kan juga baru sekali. Fajar/Rian grafik naiknya ada. Sebagai pelatih saya tidak hanya mengharapkan cuma punya satu pasangan andalan, tiga-empat lebih bagus. Seperti nanti di Piala Sudirman, saya bawa tiga pasangan, saya tinggal lihat lawan, lawan yang mikir, saya punya pilihan. Sebagai pelatih yang punya banyak pemain, akan jadi lebih mudah mengaturnya.

Kevin/Marcus punya keinginan yang besar untuk juara, apakah hal ini masih kurang dari Fajar/Rian?

Dari dulu sih Fajar/Rian sudah punya keinginan untuk juara. Tapi mengaturnya yang belum bisa. Masih terburu-buru, apalagi kalau sudah mau game, itulah ciri pemain muda. Kalau poin tua, game ketiga kelihatan sekali. Kalau pemain senior kan tenang saja, mental juaranya kelihatan, itu yang mereka masih butuh.

Fajar/Rian sudah ada mental juaranya, saya berharap nanti kalau memang mereka bisa lolos ke olimpiade, matangnya di olimpiade, sesuai dengan usianya, sesuai sama grafiknya mereka. Kemajuan Fajar/Rian itu di kualitas permainannya, error-nya berkurang sekali, walaupun masih ada lah, tapi persentase nya sudah berkurang. Kelihatan keyakinan pedenya meningkat, mau lawan siapa saja, nggak terlalu ada rasa khawatir. Sejak Asian Games 2018 mereka kelihatan peningkatannya, tapi kan ada dua turnamen Eropa yang mereka absen (Denmark dan French Open 2018), jadi turunnya banyak sekali.

Bagaimana cara menjaga harmonisasi di ganda putra yang kental dengan persaingan?

Salah satunya makan bersama. Kedua, harus tahu kalau pertandingan, Kevin sekamar sama Rian, Fajar sama Marcus. Kalau di lapangan mereka tempur, sudah biasa, mereka profesional. Di lapangan ledek-ledekan, ngotot-ngototan, servis colong-colongan, selesai pertandingan ya sudah ketawa-ketawa lagi. Kebetulan anak-anak ganda putra nggak baperan, beda sama cewek, nah itu nproblem yang sulit. Kalau laki-laki ledek-ledekan biasa aja, happy aja.

Apakah menurut coach Herry sekarang ada pergeseran peta kekuatan di ganda putra dunia?

Memang ada pergeseran, terutama dari Denmark, dulu ada (Mathias) Boe/(Carsten) Mogensen, sekarang belum ada lagi, hanya (Kim) Astrup/(Anders Skaarup) Rasmussen tapi mereka agak sedikit menurun. Ada pergeseran ke Jepang, Tiongkok. Tapi ya itu-itu saja negaranya. Dulu ada Korea, sekarang tidak ada lagi. Nah ini yang saya tidak mau terjadi dengan Indonesia.

Taiwan ada satu, Wang Chi-Lin/Lee Yang yang nggak pulang-pulang itu, ha ha ha. (Wang/Lee baru saja mengikuti tujuh turnamen berturut-turut).

Sebenarnya bisa saja sih pemain Indonesia begitu (ikut turnamen berurutan), tapi setahu saya pernah paling banyak empat minggu, sebulan, paling banyak. Bukan karena apa, pemainnya tidak tahan, dipaksakan juga percuma. Orang selalu berasumsi fisiknya habis, bukan fisiknya tapi fokus dan konsentrasinya yang habis.

Kalau pemain itu fokus dan konsennya sudah habis, ya nggak bisa main. Kelihatan banget, nggak bisa baca bola. Iya seperti Fajar/Rian di Tong Yun Kai Cup, waktu main sekali saya sudah bilang, sudah nggak bisa tahan, sambungan dan buangan bolanya nggak tahu ke mana, ibaratnya sudah low bat, harus di-charge dulu. Yang paling sulit di situ, kalau fisik mungkin masih bisa ditahan. Pusatnya di fokus, fokusnya habis, semuanya hilang, mati lampu. Selesai, nggak bisa ngapa-ngapain. (*)

Berita Wawancara Lainnya