Berita > Artikel

Catatan Ringan Ian Situmorang
Soeharto dan Olahraga (2)

Senin, 04 Februari 2008 21:24:19
2216 klik
Oleh : admin
Kirim ke teman   Versi Cetak

Elly Pical, seperti halnya orang lain, pasti memiliki segudang pengalaman hidup. Ada kenangan yang ia ingin pertahankan dan nikmati, tapi ada juga yang ia harap segera hapus dan lupakan.

Petinju pertama putra Indonesia yang menjadi juara dunia pada 3 Mei 1985 itu membingkai kenangan indah. Setelah petinju Korsel Judo Chun digebuk, sabuk juara dunia IBF dililitkan di pinggang Elly. Setelah itu, ia dibawa ke Istana Merdeka menghadap Presiden Soeharto.

Nomor Satu Republik Indonesia Soeharto dan Nomor Satu Dunia Tinju IBF kelas bantam junior Ellyas Pical bersua. Mereka bersalaman dan saling menunjukkan rasa bangga sebagai bagian dari negeri ini.

Elly mendapat perlakuan istimewa dan mendapat kenangan berupa jam tangan dengan gambar Soeharto di tengah. Inilah peristiwa bermakna khusus bagi Elly dan kenangan yang mau ia simpan jauh di lubuk hati. Elly menilai Soeharto sebagai sosok yang peduli pada olahraga.

Kehidupan Elly sangat lengkap. Ada kegempitaan dan dielu-elukan hampir seluruh penduduk negeri ini saat ia berjaya. Bagaimana tidak? Setelah merdeka 40 tahun, baru kali itulah Indonesia memiliki petinju bergelar juara dunia.

Menpora saat itu, Abdul Ghafur, memanfaatkannya sebagai kemenangan politik. Maklum saja, jabatan Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga baru terbentuk pada Mei lewat Kepres No.25/1983. Untuk membakar semangat nasionalisme, Ghafur menggelari Elly sebagai Pattimura Muda.

Masih dalam tubuh yang sama tapi waktu yang berbeda, Elly mencatat peristiwa pilu. Juara dunia yang dipuja dan dianggap sebagai pahlawan olahraga Indonesia itu terjerembap dalam lubang nista.

Sebutir obat terlarang ''hanya'' seharga 30 ribu rupiah diedarkan. Saat tengah menjalankan tugas sebagai penjaga klub malam, Elly tertangkap menjual barang haram. Hukum memang tak membedakan pejabat, penjahat, pahlawan, atau pengkhianat, yang bersalah harus dijerat.

Begitulah kisah duka bagi tokoh pencatat sejarah prestasi tinju Indonesia. Kealpaan suami drg. Rina Siahaya dan ayah dua anak ini berujung di bilik dingin sebagai terpidana.

Buku abu-abu telah ditutup. Elly tak ingin lagi membuka lembaran hitam itu sekaligus mengirim sinyal kepada generasi penerus agar lebih berhati-hati. Memang tidak ada yang sempurna di dunia, orang hanya berusaha untuk mendekati kesempurnaan.

Sesungguhnya Elly hanyalah korban ketidakjelasan negeri kita ini menata masa depan putra-putri terbaiknya. Masih banyak mantan atlet yang berjaya di masa muda, tapi kemudian melarat saat usia semakin senja.

Saya mengutip ucapan Menpora Adhyaksa Dault: ''Banyak atlet kita telah kehilangan masa lalu, tapi saya tidak ingin mereka juga kehilangan masa depan.''

Sebuah pesan penuh makna. Tentu ini bukan sekadar retorika. Dibutuhkan kerja keras dan kepedulian tulus. Beberapa kali Adhyaksa telah memberi bukti berupa penyediaan rumah dan lapangan kerja. Walau berat, semoga saja upaya itu terus ditingkatkan.

***

Nah, pembaca, bagaimana kalau kehidupan Elly kita analogikan dengan Soeharto? Tokoh utama Orde Baru itu berpulang pada Minggu (27/1).

Mau lihat dari sisi kanan atau kiri? Melirih dari arah positif atau negatif? Menilai hal-hal yang mudarat atau manfaat? Sudut pandang seperti ini menjadi hak pribadi pemberi analisis.

Pada tulisan saya terdahulu, pada era Soeharto dicatat pencapaian atlet Indonesia yang amat terhormat di tingkat Asia Tenggara. Setelah ia lengser pada 1998, serta-merta prestasi olahraga negeri ini merosot tajam.

''Mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga'' dicetuskan Soeharto. Ajakan pemerintah kepada masyarakat yang diikuti penetapan 9 September 1983 sebagai Hari Olahraga Nasional berdampak positif dan mengakar.

Selama Soeharto berkuasa, setidaknya atlet Indonesia merasa hebat, walau tidak sepenuhnya benar begitu. Kenyataannya, setelah usai menjalani peran sebagai atlet, banyak di antara pahlawan itu hidup menderita.

Ketika berkuasa, sebenarnya banyak pertentangan, walau tak terbuka. Beberapa fasilitas olahraga karya Presiden Pertama RI, Soekarno, di seputar Senayan mulai digerogoti. Lahan-lahan mahal berubah fungsi menjadi sentra bisnis yang banyak diisukan adalah milik Keluarga Cendana.

Pengalihan fungsi ini tidak diikuti dengan pembangunan fasilitas baru di pinggiran kota sebagai pengganti. Keserakahan untuk kepentingan pribadi itu berdampak pada penurunan prestasi atlet.

Boleh jadi ini juga yang membuat pemerintahan berikutnya seperti tidak melakukan pembinaan secara benar. Pertanyaan kenapa fasilitas dirampas dan ke mana dananya hingga kini belum jelas.

Pembaca, mungkin Anda menyebut bahwa pada awalnya Soeharto hebat, tapi kemudian tercemar oleh kroninya. Jangankan membantu pertumbuhan olahraga, yang terpikirkan justru bagaimana menguasai harta Senayan.

Atau, mungkin Anda menyebut bahwa apa yang diperbuat Soeharto adalah yang terbaik bagi pembangunan olahraga Indonesia. Jika ada kesalahan yang diakibatkan kroninya, itu hanyalah dosa kecil yang gampang dimaafkan?

Sekali lagi, pembaca adalah juri dalam diri sendiri. Kenanglah Soeharto seperti apa yang Anda inginkan.

ian@bolanews.com

(bolanews.com)

Berita Artikel Lainnya