Berita > Artikel

Tak Perlu Sport Intelligence agar Olahraga Maju

Minggu, 10 Februari 2008 16:34:26
2150 klik
Oleh : admin
Kirim ke teman   Versi Cetak

Oleh: Sumohadi Marsis

Pertengahan Januari lalu, anggota Komisi Sports for All Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Sumohadi Marsis, mengunjungi Brunei Darussalam. Kunjungan itu berkaitan dengan seminar dan persiapan Arafura Games 2009, yang akan berlangsung di Darwin, Nothern Territory, Australia.

Banyak hal yang diperolehnya selama tiga hari berada di negeri yang kaya raya dengan tambang-tambang minyaknya itu. Termasuk opini dari peserta seminar asal negara-negara jiran tentang olahraga Indonesia. Berikut catatannya.

********

Cukup banyak perubahan saat melihat lagi Bandar Seri Begawan, ibu kota Brunei Darussalam, setelah kunjungan terakhir saat negara itu jadi tuan rumah pada SEA Games 1999. Selain lebih bersih, rapi, dan berkembang, jalan-jalan raya di dalam kota juga sudah lebih panjang. Bahkan, sebagian sudah berupa jalan layang dan terowongan yang lebar. Noktah di kawasan utara Kalimantan yang berpenduduk 372 ribu orang itu masih memancarkan kemegahannya melalui Istana Sultan Hassanah Bolkiah dengan 1.000 kamar di atas tanah 300 hektar yang dari luar tampak tidak banyak berubah.

Empire, sebuah hotel megah dan indah--''berbintang enam'', seperti diucapkan seorang pengurus olahraga negeri itu dengan rasa bangga--, telah berdiri di Pantai Jerudong, menghadap laut Cina Selatan. Di hotel itulah kami menginap dan berseminar untuk persiapan Arafura Games 2009 di Darwin, Australia.

Mereka yang diundang adalah para pemimpin kontingen negara-negara peserta Arafura Games 2007, yang telah diakui IOC (Komite Olimpiade Internasional) sebagai pesta olahraga kategori sports for all. Setingkat di bawah pesta-pesta olahraga antarbangsa dengan kategori high performance seperti Asian Games atau SEA Games.

Top of the Bottom

Pertemuan yang dihadiri utusan dari 15 negara dipimpin langsung oleh Menteri Olahraga dan Rekreasi Northern Territory, Matthew Bonson MLA. Acara pokoknya berlangsung singkat, hanya dua jam. Selebihnya dipakai untuk peninjauan, baik ke pusat-pusat olahraga, objek-objek wisata, maupun menghadiri jamuan makan dan koktail.

Kegiatan sehari penuh yang cukup melelahkan, tapi tentu saja juga cukup bermanfaat. Bahkan di antara serangkaian acara resmi maupun informal muncul sejumlah pertanyaan yang lumayan berharga untuk dibagi, baik pertanyaannya itu sendiri maupun dari jawabannya, karena bukan tentang Arafura Games, melainkan SEA Games.

Di antaranya, usai meninjau Stadium Negara Hassanal Bolkiah, saya bertanya kepada pembicara tunggal, Zafri Mohamed, doktor olahraga lulusan Australia yang bekerja di Kementerian Belia dan Sukan Brunei: ''Apa target puncak Brunei? Menjadi juara umum SEA Games?''

Pertanyaan itu rupanya mengejutkan sehingga Zafri sampai bertanya balik untuk meyakinkan dirinya. Kemudian dia memberikan jawaban tak panjang dalam nada rendah. ''Tidak, Pak. Kami tahu diri. Kami tidak punya ambisi sejauh itu. Cukup menjadi yang teratas dari yang bawah-bawah. Just top of the bottom,'' katanya.

Meski kaya raya dan sudah banyak membangun sarana olahraga baru, Brunei menyadari keterbatasan sumber daya manusianya sehingga tidak ingin mematok sasaran ambisius. Tapi, baik Zafri maupun para petinggi olahraga Brunei lain memastikan mereka siap menjadi tuan rumah SEA Games 2015 setelah Indonesia 2011 dan Singapura 2013 sekaligus berharap menjadi tuan rumah yang lebih baik dibanding SEAG 1999.

Keheranan Vietnam

Pada kesempatan lain, utusan dari Vietnam, Nguyen van Quan, bertanya dengan hati-hati dan serius kepada saya. ''Maaf, saya heran, kenapa Indonesia yang begitu besar kini prestasinya begitu merosot? Dulu Anda selalu jadi juara umum atau kedua di bawah Thailand, kini di bawah kami.''

Mendengar pertanyaan itu, saya langsung menjawab, ''Kami punya banyak masalah. Di antaranya kedisiplinan. Banyak atlet kami yang berlatih serius hanya kalau diawasi pelatih. Tidak seperti atlet-atlet Anda yang sangat disiplin.'' Quan, yang menjadi wakil ketua kontingen Vietnam pada SEAG 2007, langsung menukas: ''Jangan salah. Atlet-atlet kami pun tidak disiplin. Tidak seperti yang mungkin Anda bayangkan.''

Dengan jabatan sebagai Direktur Kerja Sama Internasional pada Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata Vietnam, Quan kemudian mengungkapkan niatnya bekerja sama dengan mitranya di Indonesia. Terutama di bidang yang menurutnya merupakan kata kunci dari proses peningkatan olahraga, yakni pendidikan.

Suhardi Alias, utusan Malaysia, memiliki pertanyaan lain untuk Indonesia, terutama dikaitkan dengan bonus begitu besar yang diberikan kepada peraih medali emas pada SEA Games di Thailand kemarin, Rp 200 juta. Ini berarti sekitar 13 kali dibanding bonus untuk atlet Malaysia yang menjadi juara, yakni 5.000 ringgit atau sekitar Rp 15 juta. ''Kami pun tidak memberikan bonus kepada peraih perak dan perunggu,'' tambahnya.

Bom Waktu

Banyaknya dialog, pertanyaan, dan diskusi dalam bahasa olahraga dengan rekan-rekan dari negara tetangga seakan membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada yang perlu dirahasiakan. Informasi yang diperoleh seperti sebuah buku yang terbuka dan tidak perlu jasa sport intelligence untuk memahami kenapa Vietnam, yang baru bebas dari perang, bisa segera mengejar dan mendahului Indonesia, khususnya untuk persaingan di tingkat Asia Tenggara. Mereka memulai dan terus berkutat di sisi jantungnya, yakni pendidikan.

Malaysia ternyata juga tidak memacu atletnya dengan bonus menggiurkan untuk bisa melompat dari posisi keempat di SEAG 2005 ke peringkat kedua di SEAG 2007. Mereka menggunakan kelebihan uangnya untuk kebutuhan di tingkat hulu dan bukan tingkat hilir atau bahkan muara seperti yang kita lakukan.

Bonus kelewat besar yang tidak diimbangi dengan pemenuhan semua kebutuhan pada tingkat persiapan dan pematangan malah bisa menjadi bom waktu. Di SEAG 2009 mungkin saja atlet kita menganggap bonus Rp 200 juta ketinggalan zaman. Namun, bukankah lebih parah lagi jika bonus raksasa akan sangat memusingkan Pak Menteri saat kita menjadi tuan rumah pada SEAG 2011 dengan kemungkinan 150 medali emas yang bisa kita koleksi?

(bolanews.com)

Berita Artikel Lainnya